Ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan aktivitas literatif dan numeratif. Kesamaan antara literasi dan numerasi adalah keduanya melibatkan aktivitas otak, seperti merumuskan peristiwa, membandingkan objek satu dengan lainnya, memperhatikan pola kejadian, mengukur kadar permasalahan, menganalisis situasi, mengasah kepekaan, hingga menstimulasi pembuatan keputusan. Perbedaan keduanya terdapat pada objek yang dipelajari. Numerasi berangkat dari sistem angka, sedangkan literasi lebih menekankan pada keterampilan mengelola informasi, data, dan pengetahuan tentang suatu bidang tertentu.
Mendengarkan, membaca, dan menulis merupakan beberapa cara untuk melakukan aktivitas literasi. Namun, inti dari kegiatan literasi adalah berpikir―bahkan juga mengelola perasaan. Kegiatan literasi tidak berhenti pada aktivitas berbuku atau membaca artikel, baik luring maupun daring; menyaksikan video atau mendengarkan siniar; mempelajari bahasa-bahasa asing; dan belajar menulis kreatif ataupun karya ilmiah. Literasi merupakan proses pemerolehan informasi dalam bidang tertentu sehingga menjadikan seseorang memahami pengetahuan yang sedang dipelajari.
Dalam konteks literasi sebagai kegiatan yang berkaitan dengan kemampuan membaca, Indonesia telah bekerja keras untuk mewujudkan masyarakat literatif sejak 1973, yakni sejak kemunculan proyek SD Inpres (Instruksi Presiden). Salah satu program pada proyek SD Inpres yakni pemberantasan buta huruf. Terhitung sejak 1971 hingga 2014, persentase buta huruf turun sebanyak 34,7% (Solihin, dkk., 2019:1). Perjalanan dari masyarakat melek aksara menuju berbudaya baca tentu saja bukan hal mudah. Perlu ada kesadaran, stimulan, pemerataan, sinergitas, dan kontinuitas.
Sebuah program yang tidak lagi bertujuan memberantas buta huruf, tetapi menumbuhkan budaya baca, dibentuk oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2016. Program tersebut bernama Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang mencakup lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah. Salah satu pembiasaan yang diprogramkan pada Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah kegiatan membaca buku nonpelajaran selama lima belas menit sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Aktivitas lima belas menit membaca buku yang diprogramkan GLN, bahkan telah dilaksanakan di beberapa sekolah sebelum kegiatan tersebut diprogramkan (Solihin, dkk., 2019:3). Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meluncurkan dan masih mengembangkan program Sastra Masuk Kurikulum. Mengutip dari laman Sistem Informasi Perbukuan (SIBI), disebutkan bahwa memanfaatkan buku sastra dalam implementasi Kurikulum Merdeka merupakan manifestasi dari penguatan kompetensi dan budaya literasi membaca, penguatan rasa cinta tanah air, membangun jati diri dan karakter bangsa, serta menumbuhkembangkan budaya literasi seluruh warga negara Indonesia.
Pelaksanaan pembelajaran di sekolah dengan kurikulum apa pun tidak dapat dilepaskan dari aktivitas literatif ataupun numeratif. Hal ini ditekankan dalam Kurikulum Merdeka melalui pengadaan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). AKM diselenggarakan untuk menilai kemampuan kognitif literasi dan numerasi para peserta didik yang merupakan aspek kompetensi minimum untuk dapat berkontribusi di masyarakat. Namun, AKM bukan merupakan program evaluasi yang bersifat individual, melainkan bersifat menyeluruh yang ditunjukkan melalui rapor pendidikan di setiap satuan pendidikan. AKM lebih menekankan pada evaluasi dan pemetaan sistem pendidikan (Pusat Asesmen Pendidikan, 2022).
Asesmen nasional tersebut menunjukkan urgensi dari aktivitas numerasi dan literasi. Kegiatan numerasi dan literasi merupakan proses pemahaman atas suatu sistem angka dan pengetahuan. Numerasi tidak sekadar pelajaran Matematika. Literasi tidak sekadar pelajaran Bahasa Indonesia. Numerasi dan literasi dapat ditemukan di pelajaran Matematika, di Bahasa Indonesia, bahkan di teks-teks nonpelajaran.
Banyak teks edukatif dan kontekstual di dalam AKM. Buku-buku latihan soal AKM juga menawarkan hal serupa. Kegiatan literatif dan numeratif tersebut dapat diterapkan oleh peserta didik untuk kemudian menjadi bekal berkontribusi di masyarakat sesuai dengan tujuan AKM. Namun, berdasarkan evaluasi yang dilakukan di SMP Islam Nurul Musthofa tentang kegiatan AKM, peserta didik lebih berfokus pada menjawab soal yang bergantung pada waktu penyelesaian, alih-alih penguasaan informasi yang tertera di bacaan stimulatif.
Peserta didik cenderung berpusat pada urusan benar dan salah dalam menjawab soal daripada menyerap konten bacaan. Metode skimming (melihat sekilas) dan scanning (memindai) digunakan untuk menyelesaikan soal-soal AKM. Metode tersebut digunakan dengan tujuan mengoptimalisasi waktu pengerjaan. Ketika mengerjakan soal AKM, peserta didik ditekankan untuk menemukan kata kunci serta tidak dianjurkan membaca teks secara detail karena alasan waktu. Berdasarkan fakta tersebut, mempersiapkan peserta didik untuk berkontribusi di masyarakat dengan mengandalkan program AKM saja terlihat berat dan abstrak.
Menyikapi hal tersebut, sebuah survei dilakukan untuk mengetahui minat dan intensitas membaca buku peserta didik SMP Islam Nurul Musthofa tahun pelajaran 2024/2025. Kuisioner dibagikan kepada 118 peserta didik yang berusia antara 12-15 tahun. Sejumlah 108 peserta didik (91,5%) mengisi kuesioner dan 10 peserta didik (8,5%) tidak menjawab. Dari 91,5% peserta didik yang menjawab, hasil survei menunjukkan bahwa 56,8% peserta didik memilih pendampingan literasi berupa membaca buku secara intensif; 19,5% memilih kegiatan pendampingan latihan soal-soal AKM; dan 15,2% memilih kedua pilihan. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa peserta didik SMP Islam Nurul Musthofa cenderung memilih kegiatan membaca buku secara intensif daripada kegiatan AKM yang menekankan optimalisasi waktu dan efektivitas membaca.
Berdasarkan kenyataan tersebut, bukan berarti AKM perlu ditiadakan. AKM tetap memiliki dampak baik yang dapat dirasakan oleh peserta didik. Contohnya, peserta didik SMP Islam Nurul Musthofa memperoleh wawasan umum melalui pendampingan latihan soal AKM yang ditemani para guru. Namun, upaya lain perlu dilakukan untuk menjembatani dan memberi stimulus pada peserta didik agar kelak dapat menjadi bagian dari masyarakat yang kontributif.
Selama tiga tahun terakhir pelaksanaan AKM di SMP Islam Nurul Musthofa, hasil kemampuan literasi yang diperoleh adalah 100% peserta didik sudah mencapai kompetensi minimum. Ketercapaian ini selaras dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa 77,1% peserta didik SMP Islam Nurul Musthofa menyukai membaca buku selain buku mata pelajaran; 12,7% tidak menyukai; 1,7% memilih kedua pilihan; dan 8,5% tidak menjawab.
Pada pertanyaan lain, yakni mengenai intensitas membaca buku nonpelajaran, hasil survei menunjukkan bahwa 13,6% senang dan sering membaca buku; 61% senang membaca buku, tetapi jarang membaca; 14,4% lebih suka dan sering membaca e-book dan/atau komik daring; 2,5% hampir tidak pernah membaca buku; dan 8,5% tidak menjawab. Meskipun mengaku menyukai, lebih dari separuh peserta didik SMP Islam Nurul Musthofa jarang membaca buku. Hasil survei tersebut juga didukung dengan data bahwa 53,4% peserta didik lebih sering berselancar di media sosial ketika di rumah daripada membaca buku.
Pengaruh digitalisasi memang menguntungkan sekaligus merugikan. Teknologi yang menawarkan kepraktisan dan serba instan telah menjadi semacam corak khas dunia saat ini (atau bila boleh menyebut sebagai jiwa zaman). Berkembangnya bahan bacaan dari buku fisik menjadi elektronik adalah hal baik. Perkembangan tersebut membantu kemudahan akses; perluasan distribusi; hingga “peremajaan” bahan bacaan, seperti naskah-naskah sastra Melayu klasik yang digitalisasi untuk kemudian ditranskripsi dan ditransliterasi. Namun, membaca buku fisik tetap memiliki daya tarik yang tidak bisa digantikan oleh kemajuan teknologi. Membaca buku fisik tidak hanya memaksimalkan indra visual, tetapi juga penciuman yang dapat didapati melalui aroma buku.
Berdasarkan situasi tersebut, sekaligus mempertimbangkan amanah pendidikan untuk membekali anak agar siap terjun di masyarakat, perlu formula lain agar dapat berlangsung seimbang. Sebuah program yang berfokus pada agenda literasi, kemudian dibentuk di SMP Islam Nurul Musthofa. Program tersebut adalah TADABUR. TADABUR merupakan akronim dari Taklim dan Daras Buku SMP Islam Nurul Musthofa. Perbedaan literasi dalam AKM dan TADABUR, salah satunya, adalah metode pemahaman teks yang dibaca. Jika literasi AKM lebih menekankan pada metode cepat dan akurat, literasi TADABUR menekankan pada pembacaan secara intensif, detail (mendalam), dan reflektif. Kedua kegiatan ini dapat saling bersinergi untuk membekali peserta didik agar dapat hidup secara kontributif di masyarakat.
TADABUR: Taklim dan Daras Buku SMP Islam Nurul Musthofa
Pada dasarnya, kegiatan literasi tidak hanya berkaitan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Seluruh mata pelajaran mengandung komponen literasi, pun numerasi. Kegiatan literasi juga tidak hanya berkaitan dengan buku dan/atau membaca, tetapi juga memproses suatu amatan ataupun menelaah segala informasi yang bersifat audio-visual. Kemampuan berliterasi dapat membantu dalam menganalisis permasalahan, merangsang terciptanya keputusan, hingga membantu tindakan reflektif dan afektif, seperti perenungan dan rasa empati. Berliterasi, dalam hal ini membaca buku untuk bersenang-senang, bersantai, dan mengisi waktu senggang adalah hal baik. Namun, perlu ditekankan bahwa membaca buku adalah upaya mengedukasi diri. Pendeknya, literasi melibatkan aktivitas berpikir dan perasaan. Dengan kata lain, literasi tidak hanya berkaitan dengan menerima informasi, tetapi lebih pada memproses informasi untuk ditelaah lebih lanjut, melakukan intertekstualisasi, hingga menginternalisasikan teks pada kehidupan sehari-hari dengan tetap menyaring nilai-nilai.
Sebuah program literasi tidak hanya berhenti pada aktivitas membaca buku, tetapi juga mengelola bacaan sebagai data pengetahuan serta membiasakan peserta didik untuk menafsirkan informasi secara bijaksana. Namun, perlu ditekankan bahwa buku menawarkan aneka pengetahuan, menjembatani antara pengetahuan dan ilmu, serta merupakan salah satu objek yang penting untuk dijadikan sebagai sumber belajar. Kebiasaan membaca buku merupakan kemampuan yang sangat penting untuk dilatih dan diasah. Berdasarkan uraian tentang urgensi budaya literasi, seiring dengan pengadaan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), sebuah program literasi bernama TADABUR disusun oleh fasilitator SMP Islam Nurul Musthofa yang terletak di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah pada tahun pelajaran 2024/2025.
Taklim dan Daras Buku SMP Islam Nurul Musthofa (TADABUR) dihadirkan untuk membentuk budaya literasi. “Taklim” memiliki arti ‘pengajian’ (KBBI VI), sedangkan “daras” adalah kata dasar dari verba mendaras yang berarti ‘belajar dengan sungguh-sungguh’ (KBBI VI). Merujuk pada asal bahasa, yakni bahasa Arab, pengertian “taklim” tidak hanya mengkaji agama, tetapi lebih merujuk pada pengajaran, suatu proses yang mencerahkan akal manusia.
Pemilihan kata “daras”, alih-alih “baca” buku, juga memliki alasan tersendiri. Kata “daras” mengasosiasikan ke arah yang bersifat islami, yakni tadarus dan/atau nderes dalam bahasa Jawa. Penggunaan kata tersebut akrab digunakan dalam aktivitas membaca kitab suci. Artinya, mendaras buku seyogianya dilakukan sama seriusnya dan sama sungguh-sungguhnya dengan mendaras kitab suci. Perbedaan antara mendaras buku dan mendaras Al-Qur’an terdapat pada keimanan. Buku berisi pengetahuan untuk diketahui, bahkan boleh dikritisi, sedangkan kitab suci mutlak untuk diimani.
Tadabur memiliki arti ‘merenung’. Konsep pencerahan akal (taklim) dan kesungguhan mempelajari buku (daras buku) kemudian disatukan sebagai perenungan (tadabur). Kata-kata tersebut sengaja disusun untuk kemudian menjadi landasan program literasi di SMP Islam Nurul Musthofa. Harapan dari kegiatan TADABUR adalah kesungguhan dalam mengaji (mengkaji) melalui daras buku sehingga diperoleh suatu proses perenungan yang dapat diimplementasikan ke dalam kehidupan. Harapan ini selaras dengan latar belakang permasalahan, yakni menyeimbangkan program AKM agar dapat mencapai tujuan, yakni peserta didik memiliki bekal kesiapan untuk berkontribusi di masyarakat.
Objek yang digunakan sekaligus melandasi kegiatan ini adalah buku fisik (bukan elektronik), yakni bahan bacaan yang tetap harus dijamah dan ditelaah meskipun buku digital sangat disemarakkan. Tujuan kegiatan TADABUR adalah tidak hanya membentuk habit yang baik bagi peserta didik, tetapi juga habitat yang literatif di satuan pendidikan SMP Islam Nurul Musthofa. Kegiatan TADABUR terdiri dari mendaras buku, mencatat bacaan, dan memperbincangkan buku.
- Mendaras buku
Kegiatan mendaras buku diadakan pada awal pembelajaran Bahasa Indonesia selama 15 menit. Program ini selaras dengan GLS yang dianjurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kegiatan ini telah menjadi rutinitas di SMP Islam Nurul Musthofa sejak 2018 hingga sekarang. Tradisi baik tersebut tentu layak untuk diteruskan dan dikembangkan.
Perihal kegiatan membaca sebelum pembelajaran dimulai, sejak berdirinya SMP Islam Nurul Musthofa pada 2007, sebetulnya sudah menjadi rutinitas. Namun, sejak saat itu hingga saat ini, rutinitas membaca lebih menekankan pada membaca dan/atau menghafal Al-Qur’an sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Menimbang pentingnya menciptakan generasi yang cinta buku, program mendaras Al-Qur’an kemudian berdampingan dengan mendaras buku.
Sasaran pelaksana program TADABUR adalah seluruh peserta didik Fase D (kelas VII – IX). Tidak hanya peserta didik, guru juga turut mendaras buku pada momen yang sama. Mendaras buku selalu terasa seperti berwisata. Ada yang sedang berada di salah satu toko buku di Jepang bersama seekor kucing (Kucing Penyelamat Buku karya Sosuke Natsukawa), ada yang ke Eropa Selatan menikmati pesona Republik Malta (The Naked Traveler karya Trinity), ada yang di Indonesia menjelajahi kehidupan guru (Catatan Kecil Seorang Guru karya Mulasih Tary), Ada yang mendarat di tepi Sungai Seine, di Paris, menyaksikan Monsieur Perdu menangani “pasiennya” yang berkunjung ke apotek pustakanya (The Little Paris Bookshop karya Nina George), hingga tempat fiktif bernama Sargaras (Matahari Minor karya Tere Liye), dan seterusnya, dan seterusnya.
Selain mendaras buku, kegiatan literasi di SMP Islam Nurul Musthofa juga berkembang ke arah tulis-menulis. Bulan Ramadan 1445H/2024M, salah satu murid SMP Islam Nurul Musthofa menjadi penulis kontributor buku antologi cerita anak. Buku yang terbit tersebut kemudian menjadi bahan bacaan di program TADABUR untuk diapresiasi oleh peserta didik lain. Buku antologi tersebut berjudul Pelangi Ramadan yang diterbitkan oleh penerbit Satria Indra Prasta. Salah satu peserta didik SMP Islam Nurul Musthofa yang saat ini duduk di kelas IX, Khayla Audi Juneeta Ramadhani, menulis tentang kenikmatan berkegiatan sosial di bulan Ramadan. Tulisan tersebut berjudul “Bazar untuk Baksos”.
Saat kegiatan daras buku pada awal pembelajaran Bahasa Indonesia, “Bazar untuk Baksos” pada buku Pelangi Ramadan dibaca oleh beberapa peserta didik di depan kelas secara bergantian. Peserta didik membaca nyaring (read aloud) sehingga dapat disimak oleh peserta didik lainnya. Selain “Bazar untuk Baksos”, terdapat pula buku yang ditulis oleh salah satu guru SMP Islam Nurul Musthofa yang dijadikan sebagai bahan bacaan dengan metode membaca nyaring (read aloud) pada program TADABUR di dalam kelas. Buku tersebut berjudul Bocah Kampung Ngawonggo, buku cerita anak yang ditulis oleh Imamah Fikriyati Azizah, dan diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah pada 2022. Membaca tulisan karya peserta didik ataupun guru dapat memotivasi peserta didik lain agar tertarik pada aktivitas menulis.
Membaca nyaring merupakan aktivitas yang sangat bermanfaat untuk diterapkan. Pembaca akan berusaha menyampaikan cerita agar dapat disimak dengan jelas, menegaskan tanda-tanda baca, hingga mengekspresikan narasi ataupun dialog dalam cerita. Peserta didik, baik penutur maupun pendengar, kemudian mencatat hal-hal yang mereka anggap penting untuk dicatat di jurnal baca.
- Mencatat bacaan di jurnal baca
Peserta didik telah disediakan jurnal baca oleh fasilitator. Setelah mendaras buku, peserta didik mengisi jurnal baca, yakni semacam booklet yang berisi kolom-kolom kosong untuk diisi judul dan penulis buku, halaman yang telah dibaca, dan catatan yang berkaitan dengan bacaan. Kolom catatan dapat diisi dengan hal menarik, poin penting, retelling, bahkan kutipan-kutipan yang dianggap menarik untuk dicatat. Rutinitas ini sangat baik untuk memaksimalkan memori tubuh terhadap pengalaman menyenangkan dan pengetahuan baru yang diperoleh melalui mendaras buku.
Guru memiliki peran penting dalam TADABUR, yakni sebagai pemantik diskusi di kelas. Saat guru membaca kolom catatan pada jurnal baca yang telah ditulis oleh peserta didik, guru dapat menanyakan atau meminta peserta didik untuk menceritakan ulang ataupun menjelaskan bagian yang dibaca. Tidak jarang aktivitas tersebut memengaruhi peserta didik lain untuk menyahut; misalnya mengingatkan nama latar atau setting, menyebutkan hal-hal yang lupa tidak disebutkan temannya, hingga hal-hal yang sifatnya di luar teks atau ekstrinsik. Suasana kelas pun berubah menjadi kegiatan diskusi, terjadi perbincangan yang interaktif. Di sisi lain, Guru dapat membimbing peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami topik bacaan, mengomunikasikan gagasan dari bacaan, dan membutuhkan arahan dalam menerima konteks bacaan.
Kriteria buku yang dibaca oleh peserta didik telah ditentukan oleh fasilitator program TADABUR. Batasan bahan bacaan tersebut tercantum dalam kode etik peserta didik SMP Islam Nurul Musthofa. Kriteria bacaan yang ditentukan, antara lain: 1) buku yang dibaca telah mendapatkan izin dari guru dan orang tua (ditunjukkan melalui lembar persetujuan orang tua); 2) buku tidak mengandung unsur SARA (suku, agama, ras dan aliran); 3) buku tidak mengandung konten pornografi dan/atau yang mengarah kepadanya; 4) buku yang dibaca tidak melenceng dari nilai-nilai agama; 5) buku yang dibaca tidak mengandung unsur kekerasan, baik fisik maupun nonfisik; dan 6) buku yang dibaca sesuai dengan perkembangan usia dan cara berpikir anak.
Selain membawa buku dari rumah atas izin orang tua dan mengikuti ketentuan yang berlaku, buku bacaan peserta didik juga diperoleh dari perpustakaan SMP Islam Nurul Musthofa. Dengan bantuan pengurus OSIS, peserta didik menuliskan usulan bahan bacaan yang diinginkan. Pengurus perpustakaan kemudian melakukan kurasi atas usulan bahan bacaan tersebut. Pengadaan buku-buku dilakukan mengacu pada usulan judul-judul buku yang lolos kurasi. Selain menambah koleksi perpustakaan, hal ini sekaligus memfasilitasi peserta didik dalam mendaras buku.
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan program TADABUR adalah ketersediaan bahan bacaan untuk anak usia remaja (fase D). Permasalahan tersebut sejalan dengan pendapat Eka Kurniawan, salah seorang penulis Indonesia yang juga merupakan kurator program Sastra Masuk Kurikulum. Dikutip dari detik.com, Eka Kurniawan menyebutkan bahwa buku level SMP masih sangat jarang ditulis oleh penulis (Rosa, 2024).
Berdasarkan wawancara dengan Eka Kurniawan yang dilakukan oleh penulis pada Kamis, 19 September 2024, karya sastra Indonesia untuk anak SMP sulit ditemukan karena formula bentuk teks dan konten karya kurang sesuai dengan usia remaja. Terlebih, usia SMP merupakan usia yang tanggung, hanya berlangsung selama tiga tahun pendidikan formal untuk kemudian melanjutkan pada jenjang menengah atas. Hal ini tentu saja terlepas dari situasi anomali bahwa banyak anak SMP yang mampu membaca karya-karya tingkat lanjut (advanced).
Bentuk teks yang dimaksud berkaitan dengan jumlah kata dan susunan kalimat yang mampu dicerna oleh anak SMP. Konten yang setidaknya dapat dikonsumsi anak SMP, misalnya konten yang relatif aman dari kekerasan, pengetahuan tentang perundungan, dll. Singkatnya, cerita-cerita yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengedukasi.
Tujuan dari pelaksanaan program Sastra Masuk Kurikulum adalah anak sekolah dapat membaca karena senang. Sebagai tambahan informasi, penyebutan sastra Indonesia mengacu pada genre prosa, puisi, dan drama yang bersifat fiktif. Program ini juga menyertakan beberapa karya nonfiksi, seperti biografi, esai, dan ensiklopedia. Variasi bahan bacaan tersebut diharapkan dapat membantu proses belajar peserta didik. Adapun harapan untuk membaca karena senang selaras dengan pembiasaan di SMP Islam Nurul Musthofa melalui program TADABUR.
Mempertimbangkan bahwa permasalahan bahan bacaan yang sulit untuk anak SMP bukan hanya dialami pada pelaksanaan program TADABUR, melainkan permasalahan nasional, maka batasan pertama yang perlu diikuti oleh peserta didik dalam memilih bahan bacaan adalah persetujuan orang tua dan guru. Karena kegiatan TADABUR dilaksanakan di sekolah, tugas guru adalah menjadi pengamat, pendamping, pengarah, pembimbing, dan teman diskusi. Dengan demikian, fungsi dari jurnal baca juga sebagai kontrol yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik.
- Bincang buku
Setelah peserta didik mendaras buku dan mencatat secara mandiri, kegiatan selanjutnya adalah bincang buku. Kegiatan bincang buku dilaksanakan setiap hari Jumat pada pekan genap, selepas salat Jumat. Pekan kedua untuk peserta didik perempuan, pekan keempat untuk peserta didik laki-laki. Peserta didik dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang disusun oleh fasilitator dan melibatkan pengurus OSIS SMP Islam Nurul Musthofa.
Kelompok-kelompok kecil yang disebut dengan “lingkar” terdiri dari peserta didik lintas kelas. Adik kelas dapat berbagi bacaan dengan kakak kelasnya. Setiap lingkar terdiri dari empat hingga lima peserta didik. Masing-masing menceritakan bagian dari buku yang sedang dibaca. Saat salah satu peserta didik menyampaikan bacaannya, peserta didik lain mencatat poin-poin penting di selembar kertas yang disebut sebagai “lembar bincang”. Begitu seterusnya hingga setiap peserta didik mendapatkan kesempatan untuk bertukar atau berbagi cerita.
Membaca ataupun mendaras buku bukan hal yang baru di lingkungan sekolah, baik di SMP Islam Nurul Musthofa maupun sekolah lainnya. Kegiatan tersebut bahkan telah ada sebelum program GLS. Membaca buku selama lima belas menit sebelum pelaksanaan pembelajaran telah dilakukan oleh lebih dari 5.360 sekolah dengan berbagai jenjang pendidikan sepanjang 2016 (Solihin, dkk., 2019:3). Membuat catatan atas bacaan yang dibaca juga bukan hal yang baru, baik di SMP Islam Nurul Musthofa maupun sekolah lainnya. Buku-buku pendamping Bahasa Indonesia telah menampilkan template penulisan jurnal atau kartu baca untuk kegiatan literasi. Tujuannya agar peserta didik merekam hasil pembacaan dengan bahasa tulis. Namun, belum banyak penerapan bincang buku di sekolah-sekolah yang dilakukan secara konstan, terprogram, dan melibatkan seluruh peserta didik dalam waktu yang bersamaan.
Kegiatan bincang buku pada mulanya diusulkan oleh salah seorang peserta didik yang tergabung di dalam kepengurusan OSIS SMP Islam Nurul Musthofa, Khayla Audi Juneeta Ramadhani. Khayla berpikir bahwa kegiatan membaca buku, mencatat bacaan, dan mengobrolkan buku di kelas Bahasa Indonesia bersama guru dan teman masih dapat dikembangkan menjadi agenda temu lintas kelas. Usulan tersebut segera digarap oleh fasilitator untuk masuk ke dalam program TADABUR.
Konsep kegiatan TADABUR, selain meneruskan tradisi yang telah berlangsung di SMP Islam Nurul Musthofa, juga berkembang menjadi kegiatan yang lebih interaktif. Artinya, kegiatan literasi membaca buku yang merupakan aktivitas individual, dikembangkan menjadi kegiatan berbagi pengetahuan berdasarkan buku bacaan yang bersifat sosial. Penyusunan kegiatan TADABUR melibatkan peserta didik, guru, dan pengurus perpustakaan sekolah sebelum diajukan ke Kepala SMP Islam Nurul Musthofa. Saat program TADABUR diusulkan kepada kepala sekolah untuk memulai awal tahun ajaran 2024/2025, program literatif ini segera mendapat izin untuk lekas dieksekusi sebagai Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) di SMP Islam Nurul Musthofa pada tahun pelajaran 2024/2025.
Setelah program TADABUR dilaksanakan secara rutin sejak bulan Juli 2024, fasilitator melakukan survei pada peserta didik sebagai evaluasi periodik. Berdasarkan hasil survei, banyak dampak positif dari praktik baik ini. Meskipun masih sering memanjakan diri untuk berselancar di media sosial ketika di rumah, setidaknya membaca buku menjadi rutinitas ketika di sekolah. Peserta didik yang semula tidak meluangkan waktu untuk membaca buku, kini menjadi gemar membaca.
Selain bertambah wawasan, peserta didik juga bertambah kosakata baru, terstimulasi dalam merangkai kata, dan menjadi lebih memperhatikan kaidah menulis yang benar. Karena semakin terbiasa mendaras buku dan bertanggung jawab dalam menyampaikan bacaan ke teman, peserta didik menjadi lebih mudah menangkap dan memahami isi buku. Membaca buku bahkan menjadi semacam obat yang memperbaiki suasana hati. Terlebih ketika membaca buku fiksi, peserta didik dihadapkan pada persoalan tokoh cerita yang dapat menjadi bahan refleksi.
Selain dampak baik yang berpusat pada individu peserta didik, peserta didik juga merasakan dampak secara sosial. Peserta didik menjadi lebih bisa mendengarkan dan menghargai orang lain ketika menyimak teman berbagi bacaan. Keberanian dan rasa percaya diri juga terasah ketika menyampaikan bacaan. Hubungan lintas kelas juga lebih terjalin.
Kecenderungan normalisasi membaca buku dimanapun dan kapanpun juga mulai tampak, tentunya dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi. Misalnya, peserta didik membaca buku ketika menunggu jemputan, membaca dan mendiskusikan koran ketika menunggu teman sebelum masuk ke kelas. Peserta didik bahkan berdiskusi dengan guru terkait buku yang dibaca, baik di dalam maupun di luar pembelajaran.
Ada hal yang lebih berat dari memulai, yakni mempertahankan. Kontinuitas atau istikamah adalah tantangan terbesar yang dialami oleh SMP Islam Nurul Musthofa. Terlebih, dampak dari aktivitas mendaras buku tidak bisa dirasakan secara instan, tidak bisa dirasakan dalam satu waktu sebab kegiatan membaca bukanlah aktivitas yang sekali jalan setelah itu bubar. Kegiatan mendaras buku juga bukan merupakan aktvitas panggung yang dapat disaksikan, diapresiasi oleh tepukan tangan. Namun, justru inilah yang ingin ditampilkan dalam ruang sunyi bersama buku, berisik dalam diskusi. Boleh jadi suatu hari, ada kedisiplinan dalam pikiran yang telah terbentuk dan terasah sebab telah dibiasakan sejak remaja, telah ditabur dalam kegiatan yang terstruktur. Besar kemungkinan, suatu hari juga berbuah empati sebab membaca adalah mengasah intuisi.
Harapan jangka panjang dari program TADABUR selaras dengan tujuan pelaksanaan AKM
Aktivitas membaca sebelum pelaksanaan pembelajaran bukanlah agenda baru di SMP Islam Nurul Musthofa. Kegiatan ini sudah dilaksanakan sejak SMP Islam Nurul Musthofa berdiri pada 2007. Pada awalnya, kegiatan membaca lebih berpusat pada membaca Al-Qur’an (tadarus) dan menghafalkan. Pada 2018, tadarus Al-Qur’an mulai berdampingan dengan tadarus/daras buku. Mendaras buku, mencatat hal-hal penting, untuk kemudian mendiskusikan hasil bacaan adalah hal yang efektif untuk menggali daya tangkap dan kemampuan berliterasi peserta didik. Selain itu, kegiatan-kegiatan yang diprogram dalam TADABUR dapat merangsang atau menstimulasi peserta didik untuk dapat mengembangkan pemikiran (berpikir kritis) atas fenomena yang dibaca.
Harapan jangka panjang dari program TADABUR selaras dengan tujuan pelaksanaan AKM, yakni menjadi bekal bagi peserta didik untuk dapat berkontribusi di masyarakat. Pengerjaan literasi dalam AKM dilakukan dengan cepat dan cermat. Adapun daras buku dalam TADABUR dilakukan dengan mendalam dan reflektif. Baik AKM maupun TADABUR adalah hal yang penting, dapat berjalan berdampingan dan menyeimbangkan.
Kegiatan yang diprogram di TADABUR memiliki dampak baik yang dirasakan oleh peserta didik. Permasalahan yang paling disoroti dalam tulisan ini, berdasarkan hasil survei minat dan intensitas membaca buku peserta didik SMP Islam Nurul Musthofa, adalah peserta didik pada dasarnya menyukai membaca buku, tetapi jarang dilakukan dan lebih sering berselancar di media sosial ketika berada di rumah. Untuk menumbuhkan minat berbuku, membangkitkan kesadaran pentingnya berbuku sebagai langkah awal dari kegiatan berliterasi, serta membiasakan peserta didik untuk akrab dengan kegiatan membaca, TADABUR dijadikan sebagai program yang secara kontinu dilakukan di SMP Islam Nurul Musthofa.
Berdasarkan dampak-dampak yang mulai dapat dirasakan, baik melalui observasi para guru dan/atau kepala sekolah maupun hasil survei yang dikerjakan oleh peserta didik di SMP Islam Nurul Musthofa, pengalaman praktik baik dalam program TADABUR penting untuk diadakan oleh sekolah-sekolah lain, khususnya pada fase D (kelas VII – IX), E (kelas X), dan F (kelas XI dan XII). Membaca buku dan mencatat bacaan barangkali telah banyak dilakukan di sekolah-sekolah. Namun, menjadikan buku sebagai bahan perbincangan, bertukar wacana dalam bacaan, saling melingkar untuk belajar bertutur dan menyimak merupakan hal yang penting untuk dibiasakan. Peserta didik akan saling menularkan hal baik pada teman sebaya.
Meskipun sasaran program TADABUR adalah peserta didik, keberadaan guru sangat fundamental dalam kegiatan ini. Ketika seorang guru adalah pembaca buku, mencatat bacaan, melakukan perbincangan berfaedah tentang buku yang dibaca, memiliki kecakapan dalam berbahasa, hingga dapat memanifestasi gagasan melalui tulisan, peserta didik akan lebih mudah terangsang oleh praktik baik tersebut. Hal tersebut merupakan langkah awal sebelum memulai membentuk program, yakni mulai dari diri sendiri sebelum mengajak orang lain (peserta didik) untuk menerapkan. Bukankah sebelum menabur benih-benih ilmu pada peserta didik, alangkah lebih baik bila seorang guru, seorang dewasa, dapat berbagi buah pikir yang termanifestasi melalui perilaku?
GLOSARIUM
Taklim : pengajaran agama (Islam); pengajian
Daras : kata dasar dari mendaras yang artinya belajar (mempelajari, menyelidiki) dengan sungguh-sungguh