Mengubah Paradigma Guru Terhadap Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus Melalui Transformasi Edukasi Inklusif di SMPN 26 Kota Makassar

Penulis : Nursyamsih – Guru SMPN 26 MAKASSAR

 

Dilema Peserta Didik dengan Disabilitas di SMPN 26 Makassar

Permendikbud No 70 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Pendidikan Inklusif (PI) adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. SMPN 26 Makassar merupakan salah satu sekolah yang mengimplementasikan prinsip ini, menerima peserta didik dengan disabilitas untuk belajar berdampingan dengan siswa lainnya. Terletak di kecamatan Tamalate, kota Makassar, sekolah ini memiliki latar belakang peserta didik yang beragam, dengan banyak siswa berasal dari keluarga sederhana atau bahkan dengan kondisi ekonomi di bawah rata-rata. Beberapa orang tua mereka bekerja sebagai tukang cuci, sopir angkutan umum, atau buruh bangunan, menjadikan karakter dan pengalaman siswa semakin bervariasi.

Dengan keberagaman ini, SMPN 26 Makassar tidak hanya berkomitmen pada pendidikan inklusif, tetapi juga menciptakan lingkungan yang kaya akan nilai-nilai toleransi dan saling pengertian. Di antara seluruh peserta didik, terdapat siswa dengan disabilitas seperti tunadaksa, low vision, autis, tunagrahita ringan, dan yang paling banyak terdeteksi adalah anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Keberadaan mereka semakin memperkaya dinamika kelas, mendorong semua peserta didik untuk saling memahami dan menghargai perbedaan, serta belajar bersama dalam suasana yang mendukung dan inklusif.

Keberadaan peserta didik dengan disabilitas adalah dilema yang tidak bisa dihindari, tantangan yang tidak dapat diabaikan dalam konteks pendidikan khususnya di SMPN 26 Makassar.  Dilema ini mencakup berbagai aspek, seperti aksesibilitas, metode pengajaran, dan dukungan yang diperlukan untuk memastikan bahwa semua peserta didik terlepas dari keterbatasan mereka dapat berpartisipasi secara optimal. Awalnya peserta didik dengan disabilitas dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai beban oleh guru-guru, peserta didik pada umumnya, bahkan kepala sekolah. Stigma negatif seringkali dialami oleh peserta didik dengan disabilitas dalam lingkungan sekolah. Keberadaan mereka tidak dihargai secara penuh dan dianggap kurang berharga dibandingkan dengan peserta didik tanpa disabilitas. Sikap yang menganggap peserta didik dengan disabilitas sebagai beban, baik dalam hal waktu, sumber daya, maupun perhatian. Ini menciptakan lingkungan yang tidak mendukung dan menghambat potensi peserta didik dengan disabilitas untuk berkembang dan berkontribusi, serta memperkuat eksklusi sosial di sekolah. Pada jam istirahat, ditemukan beberapa masalah serius terkait dengan perlakuan peserta didik pada umumnya terhadap peserta didik dengan disabilitas. Temuan dari observasi tersebut adalah perlakuan negatif terlihat sering mengolok-olok dan mencaci maki peserta didik tunagrahita. Hal ini menunjukkan kurangnya empati dan pemahaman terhadap perbedaan yang ada di antara mereka. Perilaku kasar seperti mendorong dan merampas barang dari peserta didik autis juga teramati. Perlakuan semacam ini mempengaruhi emosional dan psikologis peserta didik dengan disabilitas secara negatif yang mencerminkan rendahnya tingkat toleransi di antara peserta didik. Situasi tersebut menyadarkan kami bahwa ada hal yang mendesak harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan toleransi di kalangan peserta didik  pada umumnya.  

Kasus lain yang pernah dialami peserta didik tunadaksa yang tidak bisa berjalan dan harus digendong oleh kakaknya masuk kelas setiap hari. Peserta Didik tersebut tidak memiliki kruk apalagi kursi roda karena keterbatasan ekonomi keluarganya. Mirisnya lagi pada saat rapat penaikan kelas sebagian guru menyatakan peserta didik tunadaksa tersebut tidak memenuhi syarat naik kelas karena tidak pernah ikut upacara bendera yang dilaksanakan setiap hari Senin. Keluhan guru kesulitan dalam mengelola kelas, beberapa guru melaporkan ketidakmampuan mereka dalam menangani perilaku negatif  terhadap peserta didik dengan disabilitas. Mereka sering kali melaporkan ketidakmampuan untuk menangani perilaku negatif yang muncul, baik dari siswa itu sendiri maupun dari teman-teman sekelasnya. Situasi ini menambah beban kerja guru, yang merasa kurang siap atau tidak memiliki strategi yang efektif untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Akibatnya, guru merasa tertekan, yang memengaruhi kualitas pengajaran dan interaksi di dalam kelas. Hal ini menunjukkan perlunya pelatihan dan dukungan yang lebih baik bagi guru agar mereka dapat lebih efektif dalam mengelola kelas yang beragam. Kejadian tersebut mendorong penulis melakukan sesuatu untuk merubah paradigma guru maupun peserta didik terhadap pelayanan peserta didik dengan disabilitas. 

 

Kesetaraan Akses untuk Semua Peserta Didik

Tujuan utama dari ulasan ini adalah untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik, terlepas dari kebutuhan khusus mereka, untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua peserta didik, serta mengubah cara guru berinteraksi dan mendukung peserta didik dengan disabilitas. Mengubah paradigma guru sangat penting untuk mendorong perubahan cara pandang dan pemahaman guru terhadap peserta didik dengan disabilitas, sehingga mereka lebih memahami dan menerima konsep pendidikan inklusif yang memastikan bahwa setiap anak, tanpa kecuali, memiliki akses yang adil terhadap pendidikan. Peserta didik dengan disabilitas bukan hanya tentang menerima mereka secara fisik ke dalam sekolah, tetapi juga tentang memastikan bahwa mereka mendapatkan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan responsif, di mana setiap siswa merasa dihargai dan didukung. Sekolah harus menyediakan metode pengajaran yang bervariasi, alat bantu, dan dukungan yang diperlukan agar peserta didik dengan disabilitas dapat berpartisipasi aktif dalam proses belajar. Dengan demikian, pendidikan menjadi tidak hanya tentang kehadiran fisik, tetapi juga tentang pemberian akses yang adil dan pengalaman yang bermakna bagi semua peserta didik.

Transformasi Edukasi inklusif 

Untuk mencapai tujuan di atas hal yang pertama kami lakukan adalah transformasi edukasi inklusif yakni merujuk pada proses mengubah sistem pendidikan agar mampu melayani seluruh peserta didik, tanpa memandang latar belakang, kemampuan, atau kebutuhan khusus mereka. Untuk menciptakan lingkungan belajar yang adil dan mendukung serta memperhatikan keberagaman semua peserta didik, langkah pertama yang kami ambil adalah menerapkan pendekatan kekeluargaan secara individual kepada para guru, kepala sekolah, dan seluruh pemangku kepentingan di sekolah. Dengan menjalin hubungan yang lebih dekat, kami berusaha memastikan bahwa informasi tentang pendidikan inklusif dapat dipahami dengan baik. Pendekatan ini tidak hanya membangun kepercayaan, tetapi juga mendorong kolaborasi dan komunikasi yang lebih efektif. Dengan demikian, setiap orang di sekolah dapat berkontribusi dalam menciptakan suasana belajar yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua peserta didik.

Pihak sekolah termasuk kepala sekolah dan guru-guru, memulai dengan mengadakan diskusi secara terbuka. Kepala sekolah dengan sikap empati mengundang semua guru yang terlibat langsung dalam pengajaran peserta didik dengan disabilitas untuk membahas bagaimana mereka bisa memberikan dukungan yang lebih sesuai dan efektif. Langkah selanjutnya, kepala sekolah mengundang para guru untuk berbagi pengalaman mereka dalam suasana yang terbuka dan mendengarkan perspektif yang beragam. Diskusi ini menjadi momen yang hidup, dipenuhi dengan cerita-cerita inspiratif dan tantangan yang dihadapi masing-masing guru. Mereka saling bertukar ide, mencari solusi yang lebih kreatif dan efektif untuk mendukung peserta didik. Setiap guru kemudian diberikan kesempatan untuk berbicara secara individu dengan kepala sekolah tentang peserta didik tertentu, mendalami karakteristik unik setiap peserta didik dan tantangan yang mungkin mereka hadapi. Dalam perbincangan ini, strategi yang telah diterapkan juga dieksplorasi, bersama dengan langkah-langkah baru yang perlu dikembangkan. Kepala sekolah memberikan panduan dan dukungan, memastikan bahwa setiap guru merasa diidengar dan dipahami, menciptakan atmosfer kolaboratif yang memperkuat komitmen bersama untuk pendidikan inklusif.. Pendekatan ini bukan hanya tentang perubahan sistem, tetapi juga tentang membangun hubungan yang kuat dan saling mendukung di antara semua anggota komunitas sekolah untuk memastikan bahwa setiap peserta didik dengan disabilitas mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk sukses.

Sebagai guru, kami aktif mengkampanyekan pendidikan inklusif dengan cara yang langsung dan menyentuh hati. Dalam upacara, kami menyampaikan pesan penting bahwa setiap peserta didik harus saling mendukung. Kami menekankan bahwa jika ada teman yang membutuhkan bantuan, kita harus siap membantu dengan cara yang positif. Pesan ini mengajak peserta didik untuk memahami satu sama lain dan menerima keberagaman tanpa memandang fisik. Di luar upacara, saat jam istirahat, kami rutin melakukan pendekatan kepada semua peserta didik. Ini merupakan langkah preventif yang kami ambil untuk mencegah terjadinya tindakan negatif terhadap teman-teman mereka dengan disabilitas. Dengan cara ini, kami berupaya menciptakan lingkungan yang penuh empati dan dukungan, di mana setiap anak merasa aman dan dihargai.

Langkah selanjutnya, sekolah kami menerima Bantuan Pemerintah (Banpem) dari Kemendikbud untuk menyelenggarakan sosialisasi dan bimbingan teknis (bimtek) pendidikan inklusif yang lebih formal. Kami menghadirkan narasumber ahli dari Kemendikbud untuk memberikan pelatihan khusus kepada para guru. Pelatihan ini berfokus pada strategi manajemen kelas inklusif, termasuk cara mengidentifikasi peserta didik dengan disabilitas dan menangani perilaku negatif dari siswa tanpa disabilitas.

Dalam sesi ini, kami tidak hanya mempelajari teori pendidikan inklusif, tetapi juga teknik komunikasi, pengelolaan konflik, dan penanganan perilaku kasar. Para narasumber memberikan workshop yang mendalam, menjelaskan strategi pengajaran yang adaptif serta teknik untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan peserta didik dengan disabilitas. Kami belajar berbagai metode untuk menyajikan materi agar lebih mudah dipahami oleh semua peserta didik terlepas dari kebutuhan mereka. Kegiatan ini membuka wawasan para guru tentang cara membuat pengalaman belajar di kelas menjadi lebih inklusif dan menyenangkan bagi semua peserta didik.

Kami meluncurkan kampanye kesadaran tentang keberagaman melalui program mentoring yang inovatif, yang bertujuan untuk membantu peserta didik memahami dan menerima perbedaan. Dalam program ini, peserta didik diberi kesempatan untuk berperan sebagai pendamping bagi teman-teman mereka yang memiliki hambatan, membangun ikatan yang lebih kuat dan saling mendukung. Selain itu, kami juga memajang poster-poster di berbagai sudut sekolah yang mengajak seluruh peserta didik untuk menghargai dan menerima keberagaman. Poster-poster ini bukan hanya informasi, tetapi juga ajakan untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif. Dengan langkah-langkah ini, kami berusaha meningkatkan kesadaran dan empati di antara peserta didik, menjadikan sekolah kami tempat yang lebih ramah bagi semua.

Kolaborasi dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di SMPN 26 Makassar

Penyelenggaraan pendidikan inklusif di SMPN 26 Makassar melibatkan kolaborasi yang erat dengan berbagai pihak, terutama orang tua peserta didik. Peran orang tua di rumah sangat vital, oleh karena itu guru secara rutin mengadakan pertemuan dengan mereka untuk membahas kemajuan anak, tantangan yang dihadapi, dan cara-cara meningkatkan dukungan di kelas. Orang tua diharapkan dapat membimbing anak-anak mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan di sekolah.

SMPN 26 Makassar juga menjalin kerjasama dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Universitas Negeri Makassar sebagai mitra dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kami telah melakukan MoU (Memorandum of Understanding) dengan SLB untuk memperkuat kolaborasi, sehingga guru dapat berkoordinasi langsung dengan tenaga pendidik di SLB jika menghadapi kendala dalam menangani peserta didik dengan disabilitas. Selain itu, kunjungan ke SLB Negeri 1 Makassar memungkinkan kami untuk melihat langsung proses belajar mengajar, yang dapat memberikan wawasan berharga bagi pengembangan praktik pendidikan inklusif di sekolah kami. Dengan sinergi ini, kami berkomitmen untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih mendukung bagi semua peserta didik.

Mahasiswa Fakultas Psikologi dari Universitas Negeri Makassar melakukan kolaborasi yang bermanfaat di SMPN 26 Makassar. Mereka melakukan asesmen non-akademik untuk membantu peserta didik yang mengalami hambatan belajar. Selain itu, SMPN 26 Makassar sebelumnya telah bekerja sama dengan Hellen Keller, sebuah organisasi non-profit yang berfokus pada dukungan dan advokasi bagi individu dengan kebutuhan khusus, terutama yang memiliki gangguan penglihatan dan pendengaran. Kolaborasi ini menunjukkan komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung bagi semua peserta didik.. Kolaborasi ini mencakup pemeriksaan mata (eye screening) bagi peserta didik, yang bertujuan untuk mendeteksi masalah penglihatan sejak dini. Tidak hanya itu, guru-guru mendapatkan edukasi tentang cara melayani dan meningkatkan pemahaman mereka terhadap peserta didik dengan disabilitas. Hasil dari pemeriksaan ini sangat berarti, siswa yang terdeteksi mengalami gangguan penglihatan akan mendapatkan bantuan berupa kacamata dari Hellen Keller. Dengan langkah ini, diharapkan setiap anak dapat melihat dengan jelas dan belajar dengan lebih baik. 

Untuk memperluas informasi Pendidikan inklusif, kami berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan (Disdik) kota Makassar dan menginisiasi pembentukan Pokja (Kelompok Kerja) pendidikan inklusif, yang disambut positif oleh pihak Disdik, pada tahun 2017 Pokja ini resmi terbentuk. Kami mendapat kesempatan untuk mengunjungi kantor Kemendikbud, melakukan audiensi, dan berhasil mendapatkan bantuan dari Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK). Bantuan ini difokuskan pada pembuatan kebijakan daerah serta pelatihan untuk guru-guru SD dan SMP di kota Makassar. Pada tahun 2019, regulasi daerah yang mendukung pendidikan inklusif disahkan melalui Perwali No 76 Tahun 2019. Dengan adanya peraturan ini, Disdik kota Makassar secara rutin menyelenggarakan bimbingan teknis dan sosialisasi untuk guru-guru, termasuk guru di SMPN 26 Makassar menggunakan anggaran dari APBD. Selain itu, pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) oleh Disdik semakin memperkuat kerjasama antara sekolah-sekolah dalam untuk melakukan pendataan dan identifikasi peserta didik yang memerlukan layanan khusus setiap awal semester.

 

Tantangan dan Inovasi di SMPN 26 Makassar 

Pengetahuan para guru kini mulai terlihat dalam perubahan yang nyata di kelas. Kurikulum disesuaikan agar semua peserta didik, termasuk yang memiliki disabilitas, dapat belajar dengan baik dan merasa nyaman di lingkungan sekolah. Ruang kelas juga diperbaiki untuk meningkatkan aksesibilitas. Guru Bimbingan Konseling (BK) berperan sebagai Guru Pembimbing Khusus (GPK), bekerja sama dengan guru mata pelajaran yang telah mengikuti pelatihan pendidikan inklusif. Meskipun anggaran BOS belum memungkinkan mendatangkan GPK dari alumni PLB, peran Guru BK sangat penting dalam memenuhi kebutuhan ini. Tugas GPK memang menantang, meliputi identifikasi, asesmen, dan penyusunan program pembelajaran individual bagi peserta didik yang mengalami hambatan. Mereka juga memberikan penyuluhan kepada guru-guru dan orang tua anak berkebutuhan khusus. Meski tanggung jawab GPK belum sepenuhnya bisa terlaksana di SMPN 26 Makassar, upaya ini memastikan bahwa semua peserta didik dengan disabilitas mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk belajar dan berkembang secara optimal.

Keterbatasan anggaran seringkali menjadi penghalang dalam menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi peserta didik dengan disabilitas. Saat ini, ruang khusus untuk mereka masih belum tersedia, sehingga guru sering memanfaatkan perpustakaan atau ruang BK untuk memberikan layanan. Selain itu, fasilitas seperti toilet masih belum ramah bagi peserta didik dengan disabilitas, banyak yang masih menggunakan kloset jongkok, membuat anak-anak dengan hambatan gerak terpaksa menggunakan toilet guru. Kondisi ini menunjukkan perlunya perhatian lebih untuk memastikan semua siswa, tanpa terkecuali, dapat mengakses fasilitas yang mendukung kebutuhan mereka di sekolah.

Tantangan menarik lainnya adalah tidak semua orang tua peserta didik dengan disabilitas menyadari kebutuhan anak mereka. Beberapa dari mereka bahkan menganggap anaknya tidak memiliki hambatan dan setara dengan peserta didik lainnya. Untuk mengatasi hal ini, guru melakukan komunikasi intensif dengan pendekatan yang kekeluargaan. Mereka berbicara dengan bahasa yang santun dan penuh empati, sehingga orang tua dapat memahami kondisi dan kebutuhan anak mereka dengan lebih baik. Cara ini diharapkan orang tua dapat lebih mendukung perkembangan anak dan berperan aktif dalam pendidikan inklusif yang sedang dibangun.

Membangun Komunitas Inklusif, Kesetaraan dan Pemberdayaan 

SMPN 26 berkomitmen untuk menciptakan komunitas yang inklusif dengan memfasilitasi berbagai kegiatan yang meningkatkan kesadaran dan empati di antara peserta didik. Salah satu upaya yang dilakukan adalah sosialisasi anti-bullying, yang sering dilaksanakan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung. Saat ini perubahan yang positif mulai terlihat, peserta didik dengan disabilitas merasa lebih diterima dan dihargai oleh teman-teman mereka. Dengan langkah-langkah ini, SMPN 26 berusaha memastikan setiap peserta didik merasa dihormati dan memiliki tempat dalam komunitas sekolah. Guru-guru di SMPN 26 kini merasa lebih percaya diri dalam menangani peserta didik dengan disabilitas yang beragam, sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing. Bahkan, staf dan satpam sekolah juga menunjukkan pemahaman yang tinggi tentang keberadaan peserta didik dengan disabilitas, menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif. SMPN 26 Makassar membuktikan bahwa dengan komitmen dan pemahaman yang mendalam, setiap anak memiliki kesempatan untuk belajar dan berkembang dalam suasana yang mendukung dan memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kolaborasi dan perhatian, sekolah ini dapat menciptakan pendidikan yang lebih baik untuk semua. SMPN 26 Makassar berkomitmen untuk memastikan bahwa semua peserta didik, tanpa memandang jenis kelamin, kondisi fisik, atau kemampuan intelektual, mendapatkan hak, kesempatan, dan perlakuan yang setara dalam setiap kegiatan di sekolah. Dengan langkah ini, sekolah berupaya secara perlahan menghapus diskriminasi dan stereotip berbasis gender, menciptakan peluang yang sama bagi setiap siswa untuk meraih harapan dan impian mereka. Melalui upaya ini, SMPN 26 tidak hanya membangun lingkungan yang inklusif, tetapi juga mendorong setiap anak untuk percaya pada potensi diri mereka.

Program Proyek Penguatan Profil Pancasila (P5) di SMPN 26 Makassar melibatkan semua peserta didik, tanpa kecuali, termasuk mereka yang memiliki disabilitas, baik pria maupun perempuan. Tujuan dari program ini adalah untuk menumbuhkan kapasitas, membangun karakter luhur, dan menguatkan berbagai kompetensi dalam profil pelajar Pancasila. Dalam praktik P5, terlihat bahwa peserta didik pria aktif terlibat dalam kegiatan yang biasanya dianggap sebagai tugas perempuan, seperti membuat olahan minuman jus buah dan merangkai pernak-pernik hiasan. Ini menunjukkan bahwa setiap peserta didik memiliki potensi unik yang tidak terhambat oleh batasan jenis kelamin, dan mereka dapat berkontribusi secara aktif dalam berbagai kegiatan, menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan inklusivitas.

Kesetaraan gender di SMPN 26 Makassar terlihat jelas dalam hak memilih, dipilih, dan keterlibatan aktif dalam kegiatan organisasi. Peserta didik dengan disabilitas berperan aktif sebagai pengurus OSIS dan PMR, dengan perempuan terpilih sebagai ketua OSIS tahun ini. Hal ini menghapus anggapan bahwa hanya pria yang cocok untuk pekerjaan tertentu atau bahwa perempuan tidak dapat menjadi pemimpin. Sebaliknya, ini juga menunjukkan bahwa pria pun dapat melakukan pekerjaan yang biasanya diasosiasikan dengan perempuan. Dengan langkah-langkah ini, sekolah menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan potensi individu setiap peserta didik tanpa terhalang oleh batasan gender.

Kini, orang tua peserta didik dengan disabilitas tidak lagi ragu untuk mendaftarkan anak mereka di SMPN 26 Makassar. Mereka yakin anaknya bisa belajar dalam lingkungan yang aman dan nyaman, bebas dari diskriminasi teman-temannya. Hasilnya, peserta didik dengan disabilitas merasa lebih percaya diri dan mampu menjalani aktivitas sehari-hari seperti peserta didik lainnya. Dengan suasana inklusif semua anak dapat berkembang dan meraih potensi terbaik mereka di sekolah.

Komitmen Sekolah Mewujudkan Pendidikan Inklusif

SMPN 26 Makassar kini telah berhasil menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung bagi semua peserta didik, termasuk mereka yang memiliki hambatan. Tidak ada lagi penolakan atau perlakuan kasar terhadap peserta didik dengan disabilitas. Sekolah ini telah mengimplementasikan kebijakan dan tindakan yang memastikan setiap peserta didik diperlakukan dengan adil dan dihargai, tanpa memandang tantangan yang mereka hadapi. Peserta didik dengan hambatan kini diberikan dukungan dan kesempatan setara untuk berkembang, serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan akademis dan sosial. Ini mencerminkan komitmen SMPN 26 terhadap pendidikan inklusif, menciptakan suasana yang ramah dan mendukung bagi semua peserta didik.

Meningkatkan Kualitas Pendidikan Inklusif 

 Untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi peserta didik dengan disabilitas di SMPN 26 Makassar, sangat penting bagi para guru untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang penanganan peserta didik dengan disabilitas. Mengikuti pelatihan lanjutan tentang pendidikan inklusif akan memberikan mereka pemahaman yang lebih mendalam mengenai teknik pengajaran yang efektif, strategi dukungan individual, dan cara mengatasi berbagai tantangan yang mungkin dihadapi oleh peserta didik. Dengan keterampilan dan pengetahuan yang lebih baik, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan ramah bagi semua peserta didik, sehingga setiap anak memiliki kesempatan untuk berkembang dengan optimal.

 Sekolah reguler di kota Makassar diharapkan untuk menghindari penolakan terhadap peserta didik dengan disabilitas yang ingin melanjutkan pendidikan. Pendidikan inklusif adalah hak setiap anak, dan semua sekolah seharusnya menyediakan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik. Dengan menerima peserta didik dengan disabilitas dan memberikan dukungan yang sesuai, sekolah-sekolah dapat membantu menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil dan merata. Ini akan mendukung perkembangan dan keberhasilan semua peserta didik, menjadikan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan bermanfaat bagi setiap anak.

   Mari bersama-sama mendukung penerapan pendidikan inklusif di semua sekolah, karena setiap anak berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang, terlepas dari latar belakang atau kondisi mereka. Dengan menciptakan lingkungan yang ramah dan mendukung, kita dapat membantu peserta didik dengan disabilitas untuk meraih potensi terbaik mereka, sekaligus membangun masyarakat yang lebih toleran dan saling menghargai. Ayo kita bergandeng tangan, memastikan bahwa tidak ada anak yang terpinggirkan dalam proses pendidikan!