Mental Sehat, Karakter Kuat, Kekerasan tak ada tempat
Satu tahun sudah kebijakan pemerintah tentang Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (TPPKS). Apa saja yang sudah dilakukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan SMP Negeri 2 Bogor dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dari kekerasan?
Dunia Pendidikan Kita dalam Belenggu Kekerasan
Indonesia darurat kekerasan, termasuk di lingkungan sekolah. Tingkat kekerasan dari tahun ke tahun menunjukkan angka yang sangat mengkhawatirkan. Gambaran tersebut diperkuat hasil Studi PISA pada tahun 2018 yang menyatakan bahwa 41% pelajar berusia 15 tahun mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam sebulan. Laporan hasil penelitian UNICEF pada tahun 2020 tentang perundungan di Indonesia menyodorkan fakta bahwa dua dari tiga perempuan atau laki-laki berusia 13- 17 tahun pernah mengalami kekerasan setidaknya selama hidupnya. Sementara tiga dari empat dari anak atau remaja yang pernah mengalami salah satu jenis kekerasan melaporkan bahwa pelaku adalah teman atau sebayanya. Sementara itu, UNESCO menyebutkan bahwa hampir satu dari tiga siswa atau sekitar 32% telah mengalami bullying di sekolah yang dilakukan oleh teman-teman sekolahnya paling tidak sekali dalam sebulan terakhir. Lebih dari satu dari tiga siswa (36%) telah terlibat dalam perkelahian fisik dengan siswa lain dan hampir satu dari tiga siswa (32.4%) pernah diserang paling tidak sekali dalam setahun terakhir (UNESCO, 2019).
Fakta lainnya ditunjukkan oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak atau SIMFONI PPA yang melaporkan bahwa tindak kekerasan yang dialami anak-anak menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 2019 dilaporkan terjadi kekerasan anak sebanyak sebanyak 11.055 kasus. Dari sejumlah kasus tersebut, yang menimpa anak usia sekolah (13-17 tahun) sebanyak 6,632 kasus atau sebesar 60%. Jika dilihat dari tempat terjadinya kekerasan, maka sebanyak 972 kasus terjadi di lingkungan sekolah. Pada 2021, dilaporkan ada 14.446 kasus kekerasan. Kekerasan pada anak usia 13 sampai dengan 17 tahun menyumbang sebesar 62,9% atau sama dengan 9.078 kasus. Berdasarkan tempat kejadiannya, sebanyak 587 kasus kekerasan itu terjadi di sekolah. Angka itu terus naik pada tahun 2023 menjadi 18.175 kasus. Dari angka tersebut, 62,3% adalah kasus kekerasan yang menimpa anak usia 13-17 tahun. Jika dilihat dari pendidikannya, sebanyak 6.309 kasus terjadi di jenjang sekolah menengah pertama. Sementara jenjang sekolah menengah atas, menyumbang sebanyak 21.05% atau 3.826 kasus. Agar lebih jelas, data kekerasan yang menimpa anak disajikan pada gambar.
Pada tahun 2022 National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), melaporkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia berusia 10 sampai dengan 17 tahun memiliki masalah kesehatan mental. Angka tersebut setara dengan 15,5 juta remaja. Gangguan mental yang paling banyak dialami oleh remaja adalah gangguan cemas, fobia sosial, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stres pasca trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian (attention deficit hyperactivity disorder). Hal itu cukup mengkhawatirkan mengingat hampir 20 persen dari total penduduk Indonesia berada dalam rentang usia 10–19 tahun.
Pada sisi lain, berdasarkan pengamatan, perilaku peserta didik di SMP Negeri 2 Bogor sangat beragam terutama pascapandemi covid-19. Sebagian peserta didik terlihat sangat bergantung dengan gadgetnya. Di sisi lain, beberapa peserta didik yang begitu mudah tersulut emosinya, mudah marah, bahkan memukul meskipun karena hal-hal sepele. Sebagian besar peserta didik tidak mengetahui apa yang harus dilakukan baik sekolah maupun di rumah. Selain itu, betapa mudahnya mereka dipengaruhi teman serta media sosial. Padahal, mereka belum dapat memilih dan memilah konten-konten yang berseliweran di berbagai media.
Tanggung Jawab Siapa?
Kondisi seperti itu menjadi tanggung jawab siapa? Keluarga, sekolah, pemerintah, atau masyarakat?
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan mengeluarkan peraturan nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Peraturan itu mengamanatkan bahwa setiap satuan pendidikan harus membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK). Peraturan tersebut kemudian diperjelas dengan lahirnya Keputusan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi nomor 49/M/2023 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Menyikapi hal tersebut, SMP Negeri 2 Bogor segera membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK). Anggota tim terdiri dari pendidik (guru), tenaga kependidikan (tenaga administrasi), dan orang tua/komite sekolah.Keberadaan TPPK dikuatkan dengan Surat Keputusan Kepala Sekolah. Walaupun Permendikbud ristek tersebut telah menjelaskan tugas pokok dan fungsi tim pencegahan dan penanganan kekerasan, pada awalnya masih belum dapat melaksanakan tugasnya karena berbagai keterbatasan.
Sebagai langkah awal, TPPK harus menyusun program kerja yang mencakup tiga hal, yaitu penguatan tata kelola, pencegahan dan penanganan kekerasan, serta pemenuhan sarana dan prasarana yang aman dan nyaman bagi seluruh warga sekolah, termasuk penyandang disabilitas. Penguatan tata kelola diwujudkan dalam pembuatan komitmen bersama warga sekolah dan kebijakan-kebijakan sekolah untuk mewujudkan sekolah tanpa kekerasan. Kegiatan pencegahan dilaksanakan melalui promosi dan edukasi yang melibatkan seluruh warga sekolah. Pemenuhan sarana dan prasarana berupa pengadaan sarana dan prasarana yang ramah anak, sarana untuk penyandang disabilitas, dan lain-lain. TPPK juga menyediakan berbagai link untuk menyampaikan pengaduan baik secara langsung maupun tidak. Di setiap kelas dan tempat tertentu disediakan barcode untuk menyampaikan aduan. TPPK juga melakukan penanganan kekerasan dengan menyiapkan berbagai layanan seperti pendampingan dan rujukan. Namun, yang hal yang tak kalah pentingnya adalah kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan harus disosialisasikan kepada warga sekolah terutama peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, orang tua dan komite sekolah, serta stakeholder lainnya.
Integrasi Kesehatan Mental dengan Kegiatan P5
Kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan harus diiintegrasi dalam seluruh kegiatan sekolah, termasuk dalam kurikulum. Guru mata pelajaran dapat mengintegrasikan kegiatan/tema kekerasan ke kegiatan pembelajaran, milsanya memberikan contoh-contoh kasus dan mendorong diskusi kelas. Selain itu, dapat mengaitkan perilaku anti kekerasan ke dalam materi pelajaran sesuai dengan karakeristik mata pelajaran. Sebagai contoh. guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, siswa bisa diminta untuk membuat puisi, cerpen, atau tulisan dengan tema dampak kekerasan.
Salah satu bentuk kegiatan TPPK SMP Negeri 2 Bogor adalah mengintegrasikan kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan ke dalam berbagai kegiatan sekolah, termasuk ke dalam projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5). Salah satu tema P5 untuk jenjang SMP adalah “Bangunlah jiwa raganya”. Tema ini bertujuan untuk membangun kesadaran dan keterampilan peserta didik untuk memelihara kesehatan fisik dan mental, baik untuk dirinya maupun orang sekitarnya. Peserta didik melakukan penelitian dan mendiskusikan masalah-masalah terkait kesejahteraan diri (wellbeing), perundungan (bullying), serta berupaya mencari jalan keluarnya. Peserta didik juga diharapkan dapat menelaah masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan fisik dan mental, termasuk isu narkoba, pornografi, dan kesehatan reproduksi. Berdasarkan tujuan tersebut, terlihat bahwa yang harus dibangun adalah kesehatan jasmani dan rohani peserta didik. Seringkali kita lebih fokus dengan kesehatan jasmani dan tidak memedulikan dengan mental/jiwanya.
Mengapa Kesehatan Mental?
Pepatah mengatakan “di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Mental yang sehat akan membuat pikiran menjadi positif sehingga tubuh akan berfungsi dengan baik secara emosional, psikologis, sosial, dan akan mempengaruhi cara berpikir, merasakan, serta berperilaku. Kesehatan mental yang baik juga membantu menentukan cara mengelola stres, berhubungan dengan orang lain, dan membuat sebuah pilihan. Jika kesehatan mental terganggu, pikiran, suasana hati, dan perilaku akan terpengaruh sehingga kondisi fisik dan kualitas hidupmu akan menurun.
Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan SMP Negeri 2 Bogor menyadari bahwa untuk melaksanakan P5 dengan tema ini harus bekerjasama dengan berbagai pihak agar hasilnya maksimal. Kolaborasi dengan pihak-pihak yang berkompeten diharapkan dapat membuat kegiatan lebih efektif, bermanfaat, dan tentu saja mengurangi pembiayaan. Oleh karena itu, kami bekerja sama dengan berbagai pihak, diantaranya sebagai berikut.
- Puskesmas Bogor Tengah dan Dinas Kesehatan Kota Bogor.
- Rumah sakit seperti Rumah Sakit Marzuki Mahdi, RS Mulia Bogor.
- DP3A , termasuk Pusat Pembelajaran keluarga (Puspaga) kota Bogor.
- Komisi Perlindungan Anak Daerah Kota Bogor
- Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Bogor.
- Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor.
- Pemadam Kebakaran Kota Bogor, dan lain-lain.
Untuk memberikan edukasi tentang kesehatan mental bagi warga sekolah, terutama peserta didik, pihak sekolah bersama Tim PPK memberikan pengetahuan dan wawasan tentang kesehatan mental dengan mendatangkan narasumber yang kompeten dari RS Mulia, KPAID kota Bogor dan Rumah sakit Marzoeki Mahdi. Sebenarnya kegiatan seperti ini dapat juga dilakukan dengan instansi lain, seperti Puskesmas/Dinas Kesehatan Kota, DP3A, dan lain-lain.
Sasaran kegiatan ini adalah peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan. Skrining kesehatan mental bagi peserta didik bertujuan untuk mendeteksi dini peserta didik yang mengalami masalah kesehatan agar mendapat penanganan sedini mungkin sebelum berkembang menjadi masalah yang serius. Dengan demikian, TPPK dan pihak sekolah mempunyai data/informasi untuk menilai kesehatan peserta didik.
Skrining kesehatan jiwa yang dilaksanakan di SMP Negeri 2 Bogor bekerjasama dengan RS Marzuki Mahdi dilaksanakan dengan menggunakan metode kuesioner Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ). SDQ merupakan instrumen skrining perilaku singkat untuk anak dan remaja yang memberikan gambaran singkat dari perilaku yang berfokus pada kekuatan dan juga kesulitan mereka.
Manfaat skrining kesehatan mental pada dasarnya adalah untuk mendeteksi lebih cepat atau menentukan risiko seseorang untuk mengalami gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, depresi, gangguan bipolar, gangguan makan, atau gangguan stress pasca trauma (PTSD).
Peserta didik yang bermental sehat dapat menggunakan kemampuan atau potensi dirinya secara maksimal dalam menghadapi tantangan hidup, serta menjalin hubungan positif dengan orang lain. Sebaliknya, peserta didik yang kesehatan mentalnya terganggu akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang pada akhirnya bisa mengarah pada perilaku buruk, termasuk melakukan kekerasan.
Hasil Skrining Kesehatan Mental Siswa SMP Negeri 2 Bogor
Sebelum pelaksanaan skrining kesehatan jiwa, peserta skrining harus memperoleh pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya kesehatan jiwa dan manfaat mendeteksi dini kesehatan mental. Oleh karena itu, sebelum dilakukan skrining, peserta mendapat sosialisasi tentangnya pentingnya mengetahui kondisi kesehatan mental. Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan SMP Negeri 2 Bogor melaksanakan beberapa kegiatan, diantaranya sebagai berikut.
- Bekerjasama dengan Perfetti dan Rumah Sakit Mulia Bogor untuk melaksanakan kegiatan edukasi pentingnya kesehatan mental untuk pendidik dan tenaga kependidikan.
- Bekerjasama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia kota Bogor melakukan pentingnya kesehatan mental dan mewujudkan sekolah tanpa kekerasan
- Tim Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) melakukan penyuluhan kesehatan mental kepada peserta didik kelas VII. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat kegiatan projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5).
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi melaksanakan skrining kesehatan mental kepada peserta didik kelas VII yang berjumlah 323 orang, terdiri dari laki-laki sebanyak 158 orang dan perempuan 165 orang. Pendidik yang mengikuti skrining ini berjumlah 40 orang.
Skrining kesehatan mental yang dilaksanakan di SMP Negeri 2 Bogor menggunakan metode SDQ atau Strengths and Difficulties Questionnaire. SDQ adalah kuesioner untuk deteksi dini masalah perilaku dan emosi pada anak dan remaja. Kuesioner yang digunakan menggunakan instrumen yang digunakan adalah SDQ untuk usia 11–18 tahun. Pertanyaan atau pernyataan yang diajukan berkaitan dengan sesuatu yang terjadi pada 6 (enam) bulan terakhir. Kuesioner dibagikan dengan menggunakan google form. Kuesioner ini berisi 25 pernyataan yang terbagi menjadi lima domain sebagai berikut.
1) Domain masalah emosi sebanyak 5 butir pertanyaan.
Pertanyaan pada domain ini mencoba mengungkap gejala emosi pada anak yang karakteristiknya kompleks, seperti sering merasa khawatir, sering mengeluh sakit, sering menangis, atau merasa tidak bahagia.
2) Domain masalah perilaku sebanyak 5 butir pertanyaan.
Pertanyaan pada domain ini mencoba mengungkap perilaku mengganggu atau suatu pola negatif, permusuhan, dan perilaku menentang. Perilaku yang dimaksudkan dapat berupa memukul, berkelahi, mengejek, dan menolak untuk mengikuti permintaan orang lain.
3) Domain hiperaktivitas/inatensi sebanyak 5 butir pertanyaan.
Pertanyaan pada domain ini mengungkap perilaku hiperaktif, yaitu sebuah pola perilaku seseorang yang menunjukkan sikap bisa diam, impulsif dan sulit diatur. Perilaku hiperaktif yang dimaksud adalah merasa gelisah, tidak dapat duduk tenang, sering meninggalkan tempat duduk tanpa alasan yang jelas, suka berlari, memanjat, dan selalu aktif bergerak.
4) Domain masalah hubungan dengan teman sebaya sebanyak 5 butir pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan pada domain ini mencoba mendeteksi kondisi hubungan dengan teman sebaya, terutama gejala dimana anak kurang bersosialisasi dengan teman sebayanya. Seringkali anak merasa tidak diterima oleh teman sebayanya, dan mengakibatkan anak membatasi dirinya untuk berinteraksi.
5) Domain perilaku prososial yang mendukung sebanyak 5 butir pertanyaan.
Domain perilaku prososial mencoba mengungkap sikap alamiah setiap orang sebagai makhluk sosial yang merupakan tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, domain ini menggambarkan perilaku/tindakan menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan.
Berbeda dengan untuk peserta didik, skrining untuk pendidik dan tenaga kependidikan menggunakan metode Self Report Questionnaire (SRQ). SRQ terdiri dari 20 pertanyaan. Pertanyaan yang diajukan untuk mendeteksi gejala gangguan mental seperti kecemasan atau depresi, penggunaan zat psikoaktif, gejala psikotik (gangguan jiwa), dan gejala post traumatic stress disorder (PTSD). Pertanyaan-pertanyaan tersebut terkait dengan masalah atau perasaan selama 30 hari terakhir pengisi kuesioner.
Hasil skrining kesehatan mental sangat bergantung kepada kejujuran peserta dalam memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Hasil skrining kesehatan mental yang dilaksanakan menghasilkan informasi yang sangat penting, Berdasarkan hasil skrining tersebut, sekolah memperoleh profil kesehatan mental peserta didik kelas VII. Hasil skrining itu menjadi bahan pertimbangan dalam membuat berbagai program/kegiatan sekolah, termasuk dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.
Berdasarkan hasil pengisian kuesioner oleh peserta didik dengan metode SDC diperoleh data sebagai berikut. Peserta didik yang mengisi kuesioner adalah seluruh peserta didik kelas VII Tahun Ajaran 2023/2024 sebanyak 323 orang. Peserta didik yang terdeteksi mengalami masalah sebanyak 70 orang atau sama dengan 21.6 persen, Dari jumlah tersebut, peserta didik yang yang terdeteksi mengalami gangguan emosional seperti merasa tidak bahagia, cemas, ada sebanyak 37 orang atau 11.4 persen. Sedangkan peserta didik mengalami masalah perilaku sebanyak 23 orang atau sebesar 7.09 persen. Gejala hiperaktivitas terdeteksi dialami oleh 48 peserta didik atau sebanyak 14.8 persen. Peserta didik yang terdeteksi mengalami masalah dengan teman sebayanya sebanyak 67 orang atau sebesar 20.6%. Sedangkan peserta didik yang terdeteksi mengalami gejala prososial sebanyak tiga orang atau sebesar 0.93 persen. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini.
Pelajari, Gali Informasi, Dampingi, dan Referensi
Berdasarkan hasil skrining kesehatan mental yang telah dilaksanakan, tim pencegahan dan penanganan kekerasan dan guru BK melakukan beberapa langkah tindak lanjut. Secara sederhana, langkah tindak lanjut tersebut berupa pelajari, konfirmasi/dampingi, dan referensi/rujukan bagi peserta didik yang direkomendasikan.
Pada langkah pertama, TPPK mempelajari terlebih dahulu hasil skrining kesehatan mental. Hal ini penting untuk terlebih dahulu menilai keadaan dari peristiwa yang sedang terjadi serta tentang (profil) peserta didik yang membutuhkan bantuan.
Langkah selanjutnya adalah menggali informasi kepada peserta didik, terutama yang membutuhkan bantuan. Kegiatan ini antara lain dengan mendengarkan, mencoba mengerti/memahami, mengeksplorasi, mendorong, dan mencari solusi. TPPKS dan guru bimbingan konseling harus serius memperhatikan dan mendengarkan peserta didik tersebut secara aktif, mampu memahami perasaannya, bisa menenangkannya terkait situasi krisis yang tengah mereka derita, menanyakan apa kebutuhan dan kekhawatiran mereka, serta mampu membantu menyelesaikan kebutuhannya yang mendesak dan memecahkan permasalahannya.
Langkah berikutnya adalah layanan referensi atau rujukan. Layanan rujukan yaitu kegiatan menghubungkan peserta didik yang membutuhkan bantuan dengan orang atau pihak lain sesuai dengan kebutuhannya. Bila peserta didik membutuhkan penanganan medis, dapat dirujuk ke dokter/rumah sakit. Bila peserta didik membutuhkan konseling lebih lanjut, sekolah bisa merekomendasikan/merujuk ke konselor atau psikolog. Bila sudah ada gangguan psikologis yang membutuhkan pengobatan lebih lanjut bisa dirujuk ke psikiater.
Hasil skrining yang dilaksanakan merekomendasikan sebanyak 70 peserta didik untuk ditindaklanjuti melalui penggalian informasi lebih lanjut. Oleh karena itu, RS Marzoeki Mahdi (RSMM) mengirimkan 6 tenaga psikolog profesional untuk penggalian informasi lebih lanjut dan melaksanakan pendampingan berupa konseling. Kegiatan penggalian informasi dan konseling dilaksanakan di sekolah agar menciptakan lingkungan yang nyaman bagi peserta didik. Peserta didik lebih leluasa menyampaikan perasaan, pendapat, dan harapan-harapannya. Dengan demikian, diharapkan penggalian informasi memperoleh hasil yang lebih maksimal.
Hasil konseling dengan tim dari RS. Marzoeki Mahdi dapat digambarkan sebagai berikut. Peserta didik yang mengikuti kegiatan konseling sebanyak 52 orang. Kegiatan konseling tidak bisa dipaksakan. Peserta konseling harus bersedia mengikuti konseling bukan karena paksaan. Hasil konseling, ada 5 peserta didik yang direkomendasikan untuk mengikuti konseling ke psikolog profesional. Selain itu, ada sekitar 15 peserta didik yang direkomendasikan untuk mendapat pendampingan lebih lanjut dengan guru bimbingan konseling. Selain itu, ada 4 orang yang dideteksi mengalami gangguan stress pasca trauma (PTSD) sehingga membutuhkan bimbingan/pendampingan lebih lanjut. Peserta konseling yang mengalami atau menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga berjumlah enam orang. Hasil konseling bersama Tim dari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Langkah selanjutnya adalah pendampingan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.. Beberapa orang tua kemudian diundang untuk penggalian informasi/konseling dan pendampingan agar penanganan lebih efektif dan menyeluruh. Dari hasil diskusi ini diharapkan ditemukan akar permasalahan yang dihadapi peserta didik. Sebagian besar orang tua tidak mengetahui permasalahan yang dihadapi putra/putrinya. Padahal, sebagian besar masalah yang dihadapi peserta didik berasal dari rumah. Banyak faktor penyebabnya seperti kurangnya komunikasi, faktor ekonomi, pola pengasuhan, dan lain-lain.
Atas rekomendasi dari Tim Psikolog RS Marzoeki Mahdi, sebanyak lima orang siswa yang direkomendasikan dirujuk ke Rumah Sakit Marzoeki Mahdi atau tenaga psikolog profesional. Tentu saja, peserta didik harus didampingi oleh orang tua/keluarga terdekatnya. Hal ini disebabkan permasalahan yang dihadapi peserta didik tersebut cukup berat dan kompleks. Bahkan ada peserta didik yang mengalami kekerasan dari keluarga terdekat. Permasalahan yang dihadapi peserta didik seperti orangtua bercerai, kekerasan dalam rumah tangga, menyaksikan perselingkuhan orang terdekat, mendapat pelecehan seksual, mengalami perlakuan tidak menyenangkan ketika tumbuh kembang sehingga mengalami PTSD, dan lain-lain. Peserta didik yang direkomendasikan dirujuk ke tenaga profesional umumnya yang harus mendapat family therapy.
Pelaksanaan kegiatan konseling dengan tenaga psikolog/psikiater anak profesional harus mendapat persetujuan dari peserta didik dan orang tuanya. Kegiatan ini tidak dapat dilaksanakan jika peserta didik atau orang tuanya keberatan. Tidak semua orang tua ataupun peserta didik, bersedia melakukannya. Sekolah tidak dapat memaksakan hal tersebut. Jika kondisinya seperti itu, pihak sekolah harus memaksimalkan layanan dan pendampingan guru bimbingan konseling. Namun, ada juga orang tua dan peserta didik yang mengikuti konseling ini dengan antusias. Mereka merasakan manfaat konseling untuk perkembangan putra/putrinya.
Komunikasi antara pihak sekolah (umumnya guru BK), peserta didik, orang tua dan konselor yang dirujuk harus terus terjalin.Peserta didik yang direkomendasikan untuk mendapat layanan rujukan terus dimonitor. Guru BK dan tim pencegahan dan penanganan kekerasan memantau kegiatan tersebut setiap bulan. Bila dianggap dibutuhkan, peserta didik juga harus diingatkan agar tidak lupa dan bosan ketika harus bolak-balik konsultasi. Konsultasi dengan psikolog biasanya membutuhkan waktu yang relatif lama.
Hasil kegiatan skrining kesehatan mental ini disampaikan kepada orang tua peserta didik pada saat pertemuan sekolah dengan orang tua. Pada umumnya orang tua memberikan tanggapan positif terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan. Bahkan beberapa orang tua meminta agar sekolah melakukan skrining kesehatan mental untuk orang tua. Selain itu, orang tua meminta sekolah mengadakan kegiatan parenting secara rutin.
Pada awalnya, tidak semua orang tua dapat menerima ketika disampaikan bahwa anaknya mempunyai permasalahan. Kecenderungan orang tua selalu membela atau menutupi permasalahan yang dihadapi putra/putrinya. Oleh karena itu, perlu keterampilan komunikasi dari guru BK dan tim pencegahan dan penanganan kekerasan. .Peran guru BK disini sangat penting dalam memberikan bimbingan khusus/pendampingan kepada peserta didik yang mempunyai masalah atau terlibat tindakan kekerasan. Sekolah bekerjasama dengan orang tua untuk memastikan intervensi yang efektif baik di rumah maupun di sekolah.
Pentingnya Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah
Lantas, apa dampak dari keberadaan dan kegiatan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan SMP Negeri 2 Bogor? Banyak dampak positif yang dirasakan dengan keberadaan dan kegiatan tim pencegahan dan penanganan kekerasan. Salah satunya adalah seluruh warga sekolah menyadari bahwa semua pihak harus berkomitmen dan terlibat dalam upaya menciptakan lingkungan sekolah yang aman, nyaman, inklusif, dan bebas dari kekerasan. Peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, menjadi lebih peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dampak lainnya, adalah warga sekolah, terutama peserta didik mempunyai keberanian melaporkan jika mengalami kekerasan atau melihat terjadinya kekerasan.
Demikian juga orang tua. Saat ini, orang tua mempunyai banyak saluran untuk menyampaikan keluhan atau masukkan terhadap sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah selalu menanggapi keluhan mereka, termasuk terkait kekerasan yang terjadi di sekolah. Selain aduan, orang tua juga memberi saran, masukan, terkait kegiatan sekolah. Saat ini, orang tua tidak merasa segan ketika diundang hadir hadir ke sekolah membicarakan perkembangan putra/putrinya.
Keberadaan TPPK dan skrining kesehatan mental yang dilakukan, lebih menyadarkan sekolah betapa pentingnya pelibatan orang tua dalam kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan. Pelibatan orang tua diwujudkan dengan komunikasi intensif antara wali kelas. Guru mata pelajaran, dan guru BK. Pihak sekolah aktif menjalin komunikasi intensif dengan orangtua, terutama ditemukan indikasi kekerasan, perilaku negatif, atau adanya permasalahan lainnya pada peserta didik. Dengan demikian, orang tua diajak bekerja sama dengan sekolah untuk menangani masalah dengan cara konstruktif dan komprehensif..
Pendidik dan tenaga kependidikan lebih paham tentang prosedur pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk bagaimana mengintegrasikannya ke dalam pelaksanaan pembelajaran, baik kurikuler, ko-kurikuler, maupun ekstrakurikuler.. Pendidik lebih bijaksana dalam menghadapi anak-anak yang bermasalah. Mereka kini lebih menekankan pentingnya disiplin positif dalam menghadapi peserta didik. Dalam menangani peserta didik yang bermasalah. sekolah lebih menggunakan pendekatan disiplin restoratif. Pendekatan ini lebih mengutamakan pada penyelesaian masalah yang dihadapi peserta didik dengan cara memperbaiki hubungan dan mencari solusi bersama, bukan memberikan hukuman.
Pentingnya Kolaborasi dengan Berbagai Pihak
Lahirnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 terutama terkait keberadaan tim pencegahan dan penanganan kekerasan seringkali dianggap sangat membatasi gerak-gerik sekolah dalam menghadapi permasalahan peserta didik. Padahal, kehadiran peraturan menteri tersebut tidak hanya melindungi peserta didik, tetapi juga pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah. Tentu saja, khususnya pihak sekolah harus mempelajari dengan seksama Juknis tata cara penanganan kekerasan di satuan pendidikan dengan lebih cermat. Hal ini penting agar dapat melakukan sosialisasi kepada warga sekolah lainnya. Hal yang tak kalah krusial adalah melakukan penguatan tata kelola pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, agar kegiatan ini terintegrasikan ke dalam seluruh aspek kegiatan sekolah.
Kesehatan mental merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia, termasuk remaja. Isu kesehatan mental, merupakan hal yang masih dianggap tabu bagi sebagian orang, termasuk dunia pendidikan. Sebagian orang masih alergi jika mendengar hal yang berkaitan dengan kesehatan mental. Oleh karena itu, mengangkat isu tentang kesehatan mental perlu kerja keras dan berkolaborasi dengan pihak-pihak yang kompeten.
Banyaknya peserta didik yang mengalami kekerasan di dalam keluarga terdekat. Dengan demikian, penanganannya juga harus melibatkan lingkungan keluarga. Kami belum mempunyai jalinan kerjasama dengan pemerintah daerah setempat. Intervensi sekolah tidak dapat sampai terlalu dalam institusi keluarga. Oleh karena itu, perlu kerjasama dengan instansi yang membawahi seperti pusat pembelajaran keluarga (Puspaga). .Selain itu, sekolah harus memprogramkan kegiatan parenting secara rutin dan terjadwal.
Program skrining kesehatan mental belum dapat dilaksanakan untuk seluruh siswa baik kelas VII, VIII, maupun IX. Hal ini harus dilakukan karena setiap usia anak mempunyai karakteristik yang berbeda. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku anak setiap kelas berbeda. Oleh karena itu, sekolah harus menjalin kerjasama dengan instansi lain yang kompeten melakukan hal itu. Skrining kesehatan mental seharusnya menjadi kebutuhan juga untuk orang tua Keluarga adalah lembaga pendidikan utama dan pertama bagi seorang anak. Banyak orang tua yang meminta sekolah untuk melaksanakan skrining juga kepada mereka. Namun, hal tersebut belum kami dapat fasilitasinya.
Berdayakan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah
Berdasarkan uraian di atas, dapat kami dapat menarik dua kesimpulan besar. Kesimpulan pertama adalah pentingnya membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) di sekolah. Masih banyak sekolah/warga sekolah yang beranggapan bahwa kehadiran Tim PPK akan membuat membatasi kinerja sekolah. Kehadiran TPPK dianggap dapat menyebabkan semakin banyaknya aduan kekerasan yang terjadi termasuk pihak luar sekolah. Padahal kehadiran TPPK akan membantu mengarahkan kegiatan menciptakan lingkungan sekolah yang aman, nyaman, inklusif, dan menyenangkan lebih optimal. Namun, semua warga sekolah memang harus terlibat aktif dan berkomitmen untuk melaksanakan program pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.
Suksesnya program pencegahan dan penanganan kekerasan tidak hanya bergantung kepada kebijakan sekolah, tetapi juga pada partisipasi aktif, satu pemahaman, dan komitmen bersama seluruh warga sekolah. Selain itu, sekolah juga harus bisa berkolaborasi dan bekerjasama dengan berbagai pihak baik internal maupun eksternal sekolah dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan ini. Salah satu pihak yang sangat penting adalah peran serta dan kerjasama dengan orang tua/keluarga peserta didik. Tak dapat disangkal bahwa sebagian besar waktu seorang anak adalah berada di dalam lingkungan keluarganya.
Simpulan kedua adalah kegiatan skrining kesehatan mental yang telah dilaksanakan oleh SMP Negeri 2 Bogor sangat bermanfaat bagi sekolah. Mengapa demikian? Pertama, hasil skrining kesehatan mental ini dapat dijadikan alat ukur untuk menilai masalah psikologis dan perilaku peserta didik. Kedua, hasil skrining Kesehatan mental dapat digunakan oleh pihak sekolah/guru-guru untuk melakukan deteksi dini masalah peserta didik terutama yang berkaitan dengan masalah perilaku dan emosi peserta didik. Manfaat ketiga adalah dapat membantu pihak sekolah/guru untuk membantu masalah-masalah yang dihadapi oleh peserta didik, baik di dalam lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Keempat, hasil kegiatan ini dapat membantu pihak sekolah dalam penanganan masalah peserta didik di sekolah. Kelima, hasil cek dini kesehatan mental ini dapat menjadi bahan rekomendasi/pertimbangan sekolah dalam menyusun program/kegiatan sekolah termasuk dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan.
Ayo Lebih Peduli dengan Kesehatan Mental!
Salah lirik lagu kebangsaan Indonesia berbunyi ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya…“. Hal itu menunjukkan bahwa pendiri bangsa ini menyadari pentingnya membangun kesehatan jiwa. Oleh karena itu, kesehatan mental harus mendapat perhatian semua pihak, termasuk dunia pendidikan. Sekolah dapat bekerjasama dengan pihak lain untuk melaksanakan edukasi dan cek dini kesehatan mental warga sekolah, atau kegiatan lain yang sejenis. Sekolah dapat bekerja sama dengan rumah sakit pemerintah maupun swasta yang menyediakan layanan kesehatan mental. Sekolah dapat mengajukan permohonan kerjasama dengan rumah sakit dengan memanfaatkan dana CSR yang ada di rumah sakit tersebut.
Namun, sekolah melalui guru bimbingan konseling atau TPPK juga dapat melakukan sendiri dengan menggunakan kuesioner strengths and difficulties questionnaire (SDQ). Kuesioner ini mudah didapat, mudah dipahami, dan dapat dilaksanakan oleh sekolah. Bahkan, setiap orang, termasuk remaja dapat melakukan sendiri cek kesehatan mental ini karena sudah banyak aplikasinya di internet. Tentu saja dengan bimbingan guru atau orang dewasa.
Kegiatan cek kesehatan mental akan lebih efektif jika dilaksanakan dengan tahapan edukasi, skrining kesehatan mental, dan konseling. Akan lebih baik, jika kegiatan ini dilaksanakan bekerjasama dengan pihak lain yang lebih kompeten. Namun, sekolah juga dapat melakukannya sendiri dengan menggunakan metode SDQ atau metode lain sejenis. Metode SDQ mudah digunakan karena (1) petunjuk penggunaannya mudah dipahami, (2) pernyataan dan cara menganalisis hasilnya mudah dipahami, (3) tidak membutuhkan waktu yang lama, dan (4) pemberian kategori/interpretasinya mudah dipahami. Namun demikian, akan jauh lebih baik apabila pihak sekolah melalui guru BK atau tim pencegahan dan penanganan kekerasan dapat melakukan pelatihan ini terlebih dahulu.
Sekolah bekejasama dengan Puskesmas dapat melaksanakan kegiatan ini pada awal tahun ajaran pada saat penjaringan kesehatan. Salah satu program Dinas Kesehatan melalui Puskesmas setempat adalah melaksanakan penjaringan kesehatan kepada peserta didik kelas VII. Penjaringan kesehatan biasanya merupakan pengecekkan terhadap kondisi kesehatan peserta didik. Tujuan penjaringan kesehatan adalah mendeteksi dini peserta didik yang memiliki masalah kesehatan agar mendapat penanganan sedini mungkin. Penjaringan kesehatan umumnya mencakup pemeriksaan kebersihan perorangan (rambut, kulit, kuku), pemeriksaan status gigi, pemeriksaan ketajaman indera pendengaran dan penglihatan, pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut, dan pengukuran kebugaran jasmani. Mulai sekarang, penjaringan kesehatan dapat ditambahkan atau difokuskan pada kesehatan mental peserta didik dan warga sekolah lainnya.Tak kalah pentingnya adalah bagaimana memanfaatkan hasil penjaringan kesehatan tersebut oleh pihak sekolah atau pihak terkait lainnya dalam upaya membentuk generasi penerus bangsa yang sehat jiwa raganya.
Ayo dukung…
Kehadiran Tim Pencegahan Penanganan Kekerasan di sekolah
Guru senang, orang tua tenang, prestasi siswa gemilang.
Ayo… cek kesehatan mental
Mental sehat, raga kuat, prestasi meningkat!
Penulis : Tati Karwati – Guru SMPN 2 Kota Bogor